Rabu, November 26, 2008
MEMILIH
Kita sering dihadapkan pada situasi dimana kita harus menetapkan pilihan. Contoh nya : memilih baju untuk dipakai resepsi, meilih kendaraan yang akan kita gunakan, memilih lokasi rumah, memilih presiden bahkan yang lebih penting lagi memilih pasangan hidup kita... ...
Sejak manusia dilahirkan sampai dia meninggal selalu dihadapkan pada situasi itu. Bagaimana sih cara manusia menetapkan suatu pilihan? Manusia pada dasarnya mempunyai naluri untuk memilih sesuatu yang merupakan kebutuhannya yg paling penting , paling mendesak.Namun tidak serta merta pilihan yang diambil itu boleh sembarangan saja dengan tidak memikirkan kepentingan pihak/orang diluarnya. Karena itu banyak faktor / kategori / kriteria yang digunakan sebagai dasar dimana seseorang menentukan pilihannya. Disini saya memakai istilah ”kriteria”.
Contoh paling sederhana, cara memilih Susu formula untuk anak, mungkin ibu-ibu akan memakai kriteria : harga,nilai gizi, kemudahan mencari/memperoleh, rasa, kemasan, pengalaman diri/keluarga, rekomendasi ibu2 lain dst..dst....
Nah dari beragam kriteria tsb akan dikelompokkan dalam 2 golongan ; yaitu kriteria diterima (inklusi) dan kriteria ditolak (eksklusi). Dari situ nantinya para ibu-ibu akan lebih mudah menetapkan pilihan susu formula yg akan dibeli untuk anak tercinta.
Tentunya keuntungan dari metode ini adalah kita bisa meminimalkan faktor emosi sebagai dasar menetapkan pilihan, misal tetanggaku anaknya di kasih susu Promil, ahh aku juga gak mau kalah, padahal kita tahu betapa mahalnya susu itu. Kerugiannyapun ada juga...yaitu semakin banyak kriteria yang ditetapkan maka akibatnya semakin sedikit kemungkinan mendapatkan pilihan.....ini wajar..karena tidak ada/jarang ada sesuatu yang memiliki nilai sempurna...paling bisa mendekati sempurna, itupun setelah kriteria agak dilonggarkan
Bagaimana seandainya teknik memilih itu diterapkan pada situasi dimana kita harus menentukan siapa teman dekat. pacar, pasangan hidup...? prosesnya sebenarnya sama, tetapi lebih ketat lagi. Kita pasti memulai dari performa si ”dia”.
Seandainya aku adalah wanita tentunya kriteria inklusinya a.l : si ”dia” harus lelaki sejati, kepribadiannya kokoh, bermental baja, sopan, tutur kata lembut, fisik bagus (ideal), intelegensia baik, pendidikan tinggi, pekerjaan mapan, keluarga baik-baik, keturunan juga tak ada yg cacat, berakhlak mulia, wajah tidak mengecewakan, romantis tapi humoris..tidak merokok,..dll . Itu mungkin kriteria yang ku gunakan, tetapi masalahnya keluarga kita pun mempunyai kriteria sendiri untuk calon menantunya....Nahh....hal inilah yang sering menimbulkan kesenjangan, dimana pilihan kita kadang tidak disetujui oleh keluarga kita, walaupun kita sudah jatuh cinta setengah mati..! Situasi seperti ini sering menimbulkan keadaan frustasi, dimana seseorang yang merasa bahwa pilihannya selalu tidak dapat ”menyenangkan” semua pihak akhirnya menjadi apatis, dan akhirnya mematikan rasio dan emosinya dan menyerahkan pilihannya pada keluarga (orang) lain.....akibatnya bisa ditebak, bahtera rumah tangga yang mereka tumpangi berlayar laksana perahu di tengah badai, terombang-ambing kesana-kemari...penuh dengan gejolak, perselisihan, pertengkaran,,,susahnya lagi kalau kadung sudah ada anak. Memang anak bisa dijadikan sebagai alasan sebagai alat pemersatu dan mencegah perceraian...tetapi kasihan sekali status anak tersebut seandainya hanya berfungsi sebagai meterai seperti itu.!!
Lalu bagaimana cara kita menetapkan pilihan untuk pasangan hidup kita dengan benar? Memang sudah banyak cerita maupun buku2 panduan bagaimana cara memilih pasangan hidup. Cuma saya memiliki pandangan bahwa: Seandainya sudah mantap dengan pilihan kita dan si ”dia” pun memiliki komitmen yang sama dengan kita sesuai dengan kriteria yang sudah kita tetapkan, jalani saja...!! Menikah adalah suatu komitmen, maka kita jelas membutuhkan waktu untuk saling mengenal terlebih dahulu untuk menilai kecocokan kita dan saling menyelaraskan nya. Memang butuh perjuangan yang berat, tetapi seandainya kita bisa melaluinya dG baik, semoga akan membuahkan hasil yang baik pula, yaitu rumah tangga yang ”sakinah” yang berbahagia yang dapat menjadi contoh ideal bagi keluarga2 yang lain.
Begitulah para pembaca sekalian, sedikit uneg-uneg saya tentang ”memilih”, tetapi perlu kita cam kan benar-benar : memilih itu memang sulit, tetapi lebih sulit lagi menjadi yang terpilih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pilihan..., kata ini berhubungan dengan dilema *menurut saya sih*.
BalasHapusWalaupun demikian pilihan tetap berlaku dlm hidup.. Tinggal bagaimana cara kita memilih, mempertimbangkan ratio atau emosi atau bahkan keduanya.
Ada pilihan yg sebenarnya kita paham, akan menuju kemana nantinya. Namun ada pilihan yg sama sekali buta bg kita. Sebaiknya *menurut saya lg nih* sblm memilih khususnya pasangan hdp, mintalah petunjuk sama yang kuasa..
Btw, td nyinggung pasangan yg memiliki komitmen, pasangan saya memiliki komitmen yg sama dgn saya ga ya? *duh jd berpikir nih*
Trust yourself,
BalasHapusand you'll know how to do.
bukan hanya sekedar memilih,
tapi mempertanggungjawabkan apa yang telah dipilih.
Ya... menikah adalah komitmen.. dan kita semestinya berusaha untuk mempertahankan komitmen itu sampai akhir masa...
BalasHapus